Minggu, 11 September 2016

Fiqih Muamalah ( pembiayaan Ijarah & Qardh )




PEMBIAYAAN IJARAH & AL-QARDH

MAKALAH

Dibuat dalam rangka memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Muamalah II
Semester III
Tahun Akademik 2013-2014

Dosen


Oleh
KELOMPOK 9

Nama                   : 13*****

Jurusan Hukum Bisnis Syariah Fakultas Syariah
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
MALANG
2014

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya lah kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Pembiayaan Ijarah & Al-Qardh .”
Makalah ini diajukan guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Muamalah, dengan dosen pembimbing Bapak .............
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi mahasiswa dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Amin Ya Rabbal ‘Alamin.





Malang,  8 Desember  2014


Penyusun
 



BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Bank Syari’ah dan Lembaga Keuangan Syari’ah lainnya dalam melayani produk pembiayaan, mayoritas masih terfokus pada produk-produk murabahah (prinsip jual beli). Pembiayaan ijarah memiliki kesamaan dengan pembiayaan murabahah karena termasuk dalam katagori natural certainty contracts dan pada dasarnya adalah kontrak jual beli.
Perbedaan antara ijarah dan murabahah terletak pada objek transaksi yang diperjual belikan yaitu dalam pembiayaan murabahah yang menjadi objek transaksi adalah barang, seperti tanah, rumah, mobil dan sebagainya, sedangkan dalam pembiayan ijarah, objek transaksinya adalah jasa, baik manfaat atas barang maupun manfaat atas tenaga kerja, sehingga dengan skim ijarah, bank syari’ah dan lembaga keuangan syari’ah lainnya dapat melayani nasabah yang membutuhkan jasa. Bentuk pembiayaan ijarah merupakan salah satu teknik pembiayaan ketika kebutuhan pembiayaan investor untuk membeli aset terpenuhi dan investor hanya membayar sewa pemakaian tanpa harus mengeluarkan modal yang cukup besar untuk membeli aset tersebut. Secara umum timbulnya ijarah disebabkan oleh adanya kebutuhan akan barang atau manfaat barang oleh nasabah yang tidak memiliki kemampuan keuangan.
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat (hak guna), bukan perpindahan kepemilikan (hak milik). Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli tapi perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya barang, sedangkan pada ijarah objek transaksinya adalah barang dan jasa.
Qard adalah Pinjaman, Suatu akad pinjam meminjam dengan ketentuan pihak yang menerima pinjaman wajib mengembalikan dana sebesar yang diterima



B.RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana pengertian Ijarah dan Qard?
2.      Apa dasar hukum Ijarah dan Qard ?
3.      Apa rukun, syarat ijarah dan Qard ?
4.      Bagaimana pelaksanaan Ijarah dan Qard ?
5.      Apa hikmah dari Ijarah dan Qard ?

C. TUJUAN
Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai Ijarah dan Qard, tentang dasar hukum, rukun dan syaratnya, agar mengetahui tentang pelaksanaan Ijarah dan Qard beserta hikmahnya.






















A. IJARAH
1. Pengertian Ijarah
Sebelum dijelaskan pengertian sewa menyewa dan upah atau ijarah, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai makna operasional ijarah itu sendiri. Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqih syafi’i berpendapat ijarah berarti upah mengupah. Hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan syarat upah mengupah, yaitu mu’jir dan musta’jir (yang memberikan upah dan yang menerima upah), sedang kan Nor Hasanuddin sebagai penerjemah Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan makna ijarah dengan sewa menyewa.
Secara etimologis al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-iwadh yang arti dalam bahasa indonesianya adalah ganti dan upah. Sedangkan menurut Rahmat Syafi’I dalam fiqih Muamalah ijarah adalah بيع المنفعة (menjual manfaat). [1]
Dalam syari’at Islam ijarah adalah jenis akad untuk mengambil manfaat dengan kompensasi. Sedangkan menurut Sulaiman Rasjid mempersewakan ialah akad atas manfaat (jasa) yang dimaksud lagi diketahui, dengan tukaran yang diketahui, menurut syarat-syarat yang akan dijelaskan kemudian.
Ijarah berarti sewa, jasa atau imbalan, yaitu akad yang dilakukan atas dasar suatu manfaat dengan imbalan jasa. Menurut Sayyid Sabiq, Ijarah adalah suatu jenis akad yang mengambil manfaat dengan jalan penggantian
Dengan demikian pada hakikatnya ijarah adalah penjualan manfaat yaitu pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dan jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa.
Dalam Hukum Islam ada dua jenis ijarah, yaitu :
a.       Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa, yaitu mempekerjakan jasa seseorang dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewa. Pihak yang mempekerjakan disebut mustajir, pihak pekerja disebut ajir dan upah yang dibayarkan disebut ujrah.
b.      Ijarah yang berhubungan dengan sewa aset atau properti, yaitu memindahkan hak untuk memakai dari aset atau properti tertentu kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa. Bentuk ijarah ini mirip dengan leasing (sewa) pada bisnis konvensional. Pihak yang menyewa (lessee) disebut mustajir, pihak yang menyewakan (lessor) disebut mu’jir/muajir dan biaya sewa disebut ujrah. Ijarah bentuk pertama banyak diterapkan dalam pelayanan jasa perbankan syari’ah, sementara ijarah bentuk kedua biasa dipakai sebagai bentuk investasi atau pembiayaan di perbankan syari’ah

Ijarah (sewa menyewa) merupakan mekanisme syariat dalam mengelola lahan yang dimiliki oleh negara tau milik pribadi untuk disewakan (dikontrakkan).

2. Dasar Ijarah
Ijarah sebagai suatu transaksi yang sifatnya saling tolong menolong mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an dan Hadits. Konsep ini mulai dikembangkan pada masa Khlaifah Umar bin Khathab yaitu ketika adanya sistem bagian tanah dan adanya langkah revolusioner dari Khalifah Umar yang melarang pemberian tanah bagi kaum muslim di wilayah yang ditaklukkan dan sebagai langkah alternatif adalah membudidayakan tanah berdasarkan pembayaran kharaj dan jizyah. Adapun yang menjadi dasar hukum ijarah adalah:
a. Al-Qur'an surat al-Zukhruf : 32
Artinya : Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagaian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagaian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.

b. Al-Qur’an surat al-Baqarah : 233 :
Artinya : ….Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kepada Allah; dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

c. Al-Qur’an surat al-Qashash : 26 :
Artinya : Salah seorang dari kedua wanita itu berkata : Hai ayahku! Ambilah ia sebagai orang yang bekerja pada (kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambi untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.

3. Rukun dan Syarat Ijarah
1. Rukun dari akad ijarah yang harus dipenuhi dalam transaksi adalah :
  1. Pelaku akad, yaitu mustajir (penyewa), adalah pihak yang menyewa aset dan mu’jir/muajir (pemilik) adalah pihak pemilik yang menyewakan aset.
  2. Objek akad, yaitu ma’jur (aset yang disewakan) dan ujrah (harga sewa).
  3. Sighat yaitu ijab dan qabul.
  4. Manfaat.[2]
2. Syarat ijarah yang harus ada agar terpenuhi ketentuan-ketentuan hukum Islam, sebagai berikut :
  1. Jasa atau manfaat yang akan diberikan oleh aset yang disewakan tersebut harus tertentu dan diketahui dengan jelas oleh kedua belah pihak.
  2. Kepemilikan aset tetap pada yang menyewakan yang bertanggung jawab pemeliharaannya, sehingga aset tersebut harus dapat memberi manfaat kepada penyewa.
  3. Akad ijarah dihentikan pada saat aset yang bersangkutan berhenti memberikan manfaat kepada penyewa. Jika aset tersebut rusak dalam periode kontrak, akad ijarah masih tetap berlaku.
  4. Aset tidak boleh dijual kepada penyewa dengan harga yang ditetapkan sebelumnya pada saat kontrak berakhir. Apabila asset akan dijual harganya akan ditentukan pada saat kontrak berakhir.
Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 09/DSNMUI/IV/2000 tanggal 13 April 2000 Tentang Pembiayan Ijarah ditetapkan:
1.   Rukun dan Syarat Ijarah :
  1. Pernyataan ijab dan qabul.
  2. Pihak-pihak yang berakad (berkontrak) : terdiri atas pemberi sewa (lessor, pemilik aset, Lembaga Keuangan Syariah) dan penyewa  (Lessee, pihak yang mengambil manfaat dari penggunaan aset, nasabah).
  3. Objek kontrak : pembayaran (sewa) dan manfaat dari penggunaan aset.
  4. Manfaat dari penggunaan aset dalam ijarah adalah objek kontrak yang harus dijamin, karena ia rukun yang harus dipenuhi sebagai ganti dari sewa dan bukan aset itu sendiri.
  5. Sighat ijarah adalah berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak, baik secara verbal atau dalam bentuk lain yang equivalent, dengan cara penawaran dari pemilik aset (lembaga keuangan syariah) dan penerimaan yang dinyatakan oleh penyewa (nasabah).
2.   Ketentuan Objek Ijarah :
  1. Objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan atau jasa.
  2. Manfaat barang harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
  3. Pemenuhan manfaat harus yang bersifat dibolehkan.
  4. Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah.
  5. Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidak tahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.
  6. Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
  7. Sewa adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada lembaga keuangan syariah sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa dalam ijarah.
  8. Pembayaran sewa boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak.
  9. Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.
3. Kewajiban Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah:
-         Kewajiban Lembaga Keuangan Syariah sebagai pemberi sewa :
a.   Menyediakan aset yang disewakan.
b.   Menanggung biaya pemeliharaan aset.
c.   Penjamin bila terdapat cacat pada aset yang disewakan.
-         Kewajiban nasabah sebagai penyewa :
a.       Membayar sewa dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan aset yang disewa serta menggunakannya sesuai dengan kontrak.
b.      Menanggung biaya pemeliharaan aset yang sifatnya ringan (materiil).
c.       Jika aset yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dan penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penyewa dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.
B. Al-Qard
Qardh secara etimologi merupakan bentuk masdar dari qaradha asy-syai’- yaqridhuhu, yang berarti dia memutuskanya.
القَرْضُ بِفَتْحِ الْقَافِ وقد تكسر، وَأَصْلُهُ فِي اللُّغَةِ: القَطْعُ.[3]
 Qardh adalah bentuk masdar yang berarti memutus. Dikatakan qaradhtu asy-syai’a bil-miqradh, aku memutus sesuatu dengan gunting. Al-Qardh adalah sesuatu yang diberikan oleh pemilik untuk dibayar.
Adapun qardh secara terminologis adalah memberikan harta kepada orang yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya dikemudian hari.[4]
Menurut Firdaus, qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali. Dalam literature fikih, qardh dikategorikan dalam aqad tathawwu’i atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersil.[5]
Menurut ulama Hanafiyah:
القَرْضُ هُوَ مَا تُعْطِيْهِ مِنْ مَالٍ مِثِليٍّ لِتَتَقَاضَاهُ ،أَوْ بِعِبَارَةٍ أُخْرَى هُوَ عَقْدٌ مُخُصُوصٌ يَرُدُّ عَلَى دَفْعِ مَالٍ مِثْلِيٍّ لِأخَرَلِيَرُدَّ مِثْلَهُ
Artinya:
“Qaradh adalah harta yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang memiliki perumpamaan) untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau dengan ungkapan yang lain, qaradh adalah suatu perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta (mal mitsil) kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang diterimanya.”[6]
Sayyid Sabiq memberikan definisi qardh sebagai berikut:
الْقَرْضُ هُوَ الْمَالُ الَّذِيْ يُعْطِيْهِ الْمُقْرِضُ لِلْمُقْتَرِضُ لِيَرُدَّ مِثْلَهُ إِلَيْهِ عِنْدَ قُدْرَتِهِ عَلَيْهِ
Artinya:
“Al-qardh adalah harta yang diberikan oleh pemberi hutang (muqrid) kepada penerima utang (muqtarid) untuk kemudian dikembalikan kepadanya (muqridh) seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu membayarnya.”[7]
Hanabilah sebagaimana dikutip oleh ali fikri memberikan definisi qardh sebagai berikut:
اَلْقَرْضُ دَفْعُ مَالٍ لِمَنْ يَنْتَفِعُ بِهِ وَيَرُدُّ بَدَلَه
Artinya:
“Qardh adalah memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya dan kemudian mengembalikan penggantinya.”[8]
Adapun pendapat Syafi’iyah adalah sebagai berikut:
اَلشَّا فِعِيَّةُ قَالُوْا : اَلْقَرْضُ يُطْلَقُ شَرْعًا بِمَعْنَى الشَّيْءِالْمُقْرَض.
Artinya:
“Syafi’iyah berpendapat bahwa qaradh dalam istilah syara’ diartikan dengan sesuatu yang diberikan kepada orang lain (yang pada suatu saat harus dikembalikan).”[9]
Dasar disyari’atkannya qardh (hutang piutang) adalah al-qur’an, hadits, dan ijma’:
1.    Dasar dari al-Qur’an adalah firman allah swt:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرَضُ اللهَ قَرْضًاحَسَنًا فَيُضَاعِقَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيْرَةً
Artinya:
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada allah pinjaman yang baik (menafkahkan harta di jalan allah), maka allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (Q.S Al-Baqarah :245)
Sisi pendalilan dari ayat diatas adalah bahwa allah swt menyerupakan amal salih dan memberi infaq fi sabilillah dengan harta yang dipinjamkan. Dan menyerupakan pembalasannya yang berlipat ganda dengan pembayaran hutang. Amal kebaikan disebut pinjaman (hutang) karena orang yang berbuat baik melakukannya untuk mendapatkan gantinya sehingga menyerupai orang yang menghutangkan sesuatu agar mendapat gantinya.[10]
2.    Dasar dari as-sunnah :
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ اَنَّ النَّبِيًّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ قَالَ : مَامِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ اِلَّا كَانَ كَصَدَ قَةٍ مَرَّةً (رواهابن ماجه وابن حبان)
  Artinya:
“Dari Ibn Mas’ud bahwa Rasulullah SAW, bersabda, “tidak ada seorang muslim yang menukarkan kepada seorang muslim qarad dua kali, maka seperti sedekah sekali.” (HR. Ibn Majah dan Ibn Hibban).[11]
3.    Ijma’
Kaum muslimin sepakat bahwa qarad dibolehkan dalam islam. Hukum qarad adalah dianjurkan (mandhub) bagi muqrid dan mubah bagi muqtarid, berdasarkan hadits diatas.
Hukum qardh (hutang piutang) mengikuti hukum taklifi: terkadang boleh, terkadang makruh, terkadang wajib, dan terkadang haram. Semua itu sesuai dengan cara mempraktekannya karena hukum wasilah itu mengikuti hukum tujuan.
Jika orang yang berhutang adalah orang yang mempunyai kebutuhan sangat mendesak, sedangkan orang yang dihutangi orang kaya, maka orang yang kaya itu wajib memberinya hutang.
Jika pemberi hutang mengetahui bahwa penghutang akan menggunakan uangnya untuk berbuat maksiat atau perbuatan yang makruh, maka hukum memberi hutang juga haram atau makruh sesuai dengan kondisinya.
Jika seorang yang berhutang bukan karena adanya kebutuhan yang mendesak, tetapi untuk menambah modal perdagangannya karena berambisi mendapat keuntungan yang besar, maka hukum memberi hutang kepadanya adalah mubah.
Seseorang boleh berhutang jika dirinya yakin dapat membayar, seperti jika ia mempunyai harta yang dapat diharapkan dan mempunyai niat menggunakannya untuk membayar hutangnya. Jika hal ini tidak ada pada diri penghutang. Maka ia tidak boleh berhutang.
Seseorang wajib berhutang jika dalam kondisi terpaksa dalam rangka menghindarkan diri dari bahaya, seperti untuk membeli makanan agar dirinya tertolong dari kelaparan.[12]
Rukun qardh (hutang piutang) ada tiga, yaitu (1) shighah, (2) ‘aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi), dan (3) harta yang dihutangkan. Penjelasan rukun-rukun tersebut beserta syarat-syaratnya adalah sebagai berikut.
1.    Shighah
Yang dimaksud shighah adalah ijab dan qabul. Tidak ada perbedaan dikalangan fuqaha’ bahwa ijab itu sah dengan lafal hutang dan dengan semua lafaz yang menunjukkan maknanya, seperti kata,”aku memberimu hutang” atau “aku menghutangimu”.
Demikian pula qabul sah dengan semua lafal yang menunjukkan kerelaan , seperti “aku berhutang” atau “aku menerima” atau “aku ridha” dan lain sebagainya.
2.    ‘Aqidain
Yang dimaksud dengan ‘aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi) adalah pemberi hutang dan penghutang. Keduanya mempunyai beberapa syarat berikut.
a.    Syarat-syarat bagi pemberi hutang
Fuqaha’ sepakat bahwa syarat bagi pemberi hutang adalah termasuk ahli tabarru’ (orang yang boleh memberikan derma), yakni merdeka, baligh, berakal shat, dan pandai (rasyid, dapat membedakan yang baik dan yang buruk). Mereka berargumentasi bahwa hutang piutang adalah transaksi irfaq (memberi manfaat). Oleh karenanya tidak sah kecuali dilakukan oleh orang yang sah amal kebaikannya, seperti shadaqah.
Syafi’iyyah berargumentasi bahwa al-qardh (hutang piutang) mengandung tabarru’ (pemberian derma), bukan merupakan transaksi irfaq (memberi manfaat) dan tabarru’.
Syafi’iyah menyebutkan bahwa ahliyah (kecakapan, keahlian) memberi derma harus dengan kerelaan, bukan dengan paksaan. Tidak sah berhutang kepada orang yang dipaksa tanpa alasan yang benar. Jika paksaan itu ada alasan yang haq. Seperti jika seseorang harus berutang dalam keadaan terpaksa, maka sah berhutang dengan memaksa.
Hanafiyah mengkritisi syarat ahliyah at-tabarru’ (kecakapan member derma) bagi pemberi hutang bahwa tidak sah seorang ayah atau pemberi wasiat menghutangkan harta anak kecil.
Hanabilah mengkritisi syarat ahliyah at-tabarru’ (kelayakan member derma) bagi pemberi hutang bahwa seorang wali anak yatim tidak boleh menghutangkan harta anak yatim itu dan nazhir (pengelola) wakaf tidak boleh menghutangkan harta wakaf.
Syafi’iyah merinci permasalahan tersebut. Mereka berpendapat bahwa seorang wali tidak boleh menghutangkan harta orang yang dibawah perwaliannya kecuali dalam keadaan darurat jika tidak ada hakim. Adapun bagi hakim boleh menghutangkannya meskipun bukan dalam kondisi darurat.
b.    Syarat bagi penghutang
1)   Syafi’iyah mensyaratkan penghutang termasuk kategori orang yang mempunyai ahliyah al-mu’amalah (kelayakan melakukan transaksi) bukan ahliyah at-tabarru’ (kelayakan member derma). Adapun kalangan ahnaf mensyaratkan penghutangkan mempunyai ahliyah at-tasharrufat (kelayakan memberikan harta) secara lisan, yakni merdeka, baligh, dan berakal sehat.
2)   Hanabilah mensyaratkan penghutang mampu menanggung karena hutang tidak ada kecuali dalam tanggungan. Misalnya, tidak sah member hutang kepada masjid, sekolah, atau ribath (berjaga diperbatasan dengan musuh) karena semua ini tidak mempunyai potensi menanggung.
3.    Harta yang dihutangkan
Rukun yang ketiga ini mempunyai beberapa syarat berikut.
a.       Harta yang dihutangkan berupa harta yang ada padanannya, maksudnya harta yang satu sama lain dalam jenis yang sama tidak banyak berbeda yang megakibatkan perbedaan nilai, seperti uang, barang-barang yang dapat di takar, ditimbang, ditahan, dan dihitung.
Tidak boleh menghutangkan harta yang nilainya satu sama lain dalam satu jenis berbeda-beda. Yang perbedaan itu mempengaruhi harga, seperti hewan, pekarangan dan lain sebagainya. Hal ini karena tidak ada cara untuk mengembalikan barang dan tidak ada cara mengembalikan harga sehingga dapat menyebabkan perselisihan karena perbedaan harga dan taksiran nilainya. Demikian ini pendapat kalangan hanafiyah.
Malikiyyah dan Syafi’iyyah, menurut pendapat yang paling benar di kalangan mereka, menyatakan bahwa boleh menghutangkan harta yang ada padanya. Bahkan, semua barang yang boleh ditransaksikan dengan cara salam, baik berupa hewan maupun lainnya, yakni semua yang boleh diperjual belikan dan dapat dijelaskan sifat-sifatnya meskipun harta itu berupa sesuatu yang berubah-ubah harganya. Mereka berargumentasi bahwa nabi Muhammad saw pernah berhutang unta muda sehingga masalah ini dikiaskan dengannya.
Tidak boleh menghutangkan sesuatu yang tidak boleh diperjualbelikan dengan cara salam, yakni sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan sifat, seperti permata dan lain sebagainya. Hanya saja, Syafi’iyyah mengecualikan sesuatu yang tidak boleh dijual dengan salam, yakni hutang roti dengan timbangan karena adanya kebutuhan dan toleransi.
Hanabilah berpendapat bahwa boleh menghutangkan semua benda yang boleh dijual, baik yang ada padanannya maupun yang berubah-ubah harganya, baik yang dapat djelaskan dengan sifat maupun tidak.
b.      Harta yang dihutangkan disyaratkan berupa benda, tidak sah menghutangkan manfaat (jasa). Ini merupakan pendapat kalangan Mazhab Hanafiyyah dan Hanabilah. Berbeda dengan kalangan syafi’iyyah dan malikiyyah, mereka tidak mensyaratkan harta yang dihutangkan berupa benda sehingga boleh saja menghutangkan manfaat (jasa) yang dapat dijelaskan dengan sifat. Hal ini karena bagi mereka semua yang boleh diperjualbelikan dengan cara salam boleh dihutangkan, sedangkan bagi mereka salam boleh pada manfaat (jasa). Seperti halnya benda padaa umumnya.
Pendapat yang dipilih oleh ibnu taimiyyah dan ahli ilmu lainnya adalah bolehnya menghutangkan manfaat (jasa).
c.       Harta yang dihutangkan diketahui. Syarat ini tidak dipertentangkan oleh fuqaha’ karena dengan demikian penghutang dapat membayar hutangnya dengan harta semisalnya (yang sama).
Syarat ketiga ini mencakup dua hal, yaitu 1) diketahui kadarnya dan 2) diketahui sifatnya. Demikian ini agar mudah membayarnya. Jika hutang piutang tidak mempunyai syarat ketiga ini, maka tidak sah.[13]
مَكَانُ الوَفَاءِ: اِتَّفَقَ عُلَمَاءُ المَذَاهِبِ الْأَرْبَعَةِ عَلَى أَنَّ وَفَاءَ القَرْضِ يَكُوْنُ فِي البَلَدِ الَّذِي تَمَّ فِيْهِ الإقْرَاضُ، وَيَصِحُّ إيْفَاؤُهُ فِي أَيِّ مَكَانٍ آخَرَ إِذَا لَمْ يَحْتَجْ نَقَلَهُ إِلَى حَمْلٍ وَمُؤْنَةٍ أَوْ وَجَدَ خَوْفِ طَرِيقٍ، فَإنْ احْتَاجَ إِلَى ذَلِكَ لَم يَلْزَم المُقْرِضُ بِتَسْلِمِهِ.[14]
Para ulama empat mazhab telah sepakat bahwa pengembalian barang pinjaman hendaknya di tempat dimana akad qardh itu dilaksanakan. Dan boleh juga di tempat mana saja, apabila tidak membutuhkan biaya kendaraan, bekal dan terdapat jaminan keamanan. Apabila semua itu diperlukan, maka bukan sebuah keharusan bagi pemberi pinjaman untuk menerimanya.[15]
Adapun untuk waktu pengembalian adalah sebagai berikut:
وَوَقْتُ رَدِّ بَدْلِ القَرْضِ عِنْدَ غَيْرَ المَالِكِيَّة فِي أيِّ وَقْتٍ شَاءَ الْمُقْرِضُ بَعْدَ قَبْضِ الْمُسْتَقْرِضِ مَالَ القَرْضِ؛ لِأَنَّهُ عَقْدٌ لَا يَثْبُتُ فِيْهِ الأَجَلُ. وَذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ إِلَى أنَّ وَقْتَ رَدِّ بَدْلِ القَرْضِ عِنْدَ حُلُوْلِ أَجَلِ وَفَاءِ القَرْضِ؛ لِأَنَّ القَرْضَ يَتَأَجَّلُ عِنْدَهُمْ بِالتَّأْجِيْلِ، كَمَا تَقَدَّمَ بَيَانُهُ.[16]
Menurut ulama selain Malikiyah, waktu pengembalian harta pengganti adalah kapan saja terserah kehendak si pemberi pinjaman, setelah peminjam menerima pinjamannya. Karena qardh merupakan akad yang tidak mengenal batas waktu. Sedangkan menurut Malikiyah, waktu pengembalian itu adalah ketika sampai pada batas waktu pembayaran yang sudah ditentukan diawal. Karena mereka berpendapat bahwa qardh bisa dibatasi dengan waktu.[17]
Para ulama sepakat bahwa wajib hukumnya bagi peminjam untuk mengembalikan harta semisal apabila ia meminjam harta mitsli, dan mengembalikan harta semisal dengan bentuknya (dalam pandangan ulama selain Hanafiyah) bila pinjamannya adalah harta qimiy, seperti mengembalikan kambing yang ciri-cirinya mirip dengan domba yang dipinjam.[18]
يَجِبُ عَلَى الْمُقْتَرِضِ أَنْ يَرُدَّ مِثْلُ الْمَالِ الَّذِي اقْتَرَضَهُ إِنْ كَانَ الْمَالُ مِثْلِيّاً بِالاِتِّفَاقِ، وَيَرُدَّ مِثْلُهُ صُورَةً عِنْدَ غَيْرِ الحَنَفِيَّةِ إِذَا كَانَ مَحَلُّ القَرْضِ مَالاً قِيْمِيّاً، كَرَدِّ شَاةٍ تُشْبِهُ الشَّاةِ الَّتِي اقْتَرَضَهَا فِي أَوْصَافِهَا.
Atas dasar itu, ulama hanafiyah tetap mewajibkan mengembalikan harta qimiy sesuai dengan apa yang sebelumnya dipinjam.
Hikmah disyariatkannya Al-Qardh dapat dilihat dari dua sisi, sisi pertama dari orang yang berhutang (muqtaridh) yaitu membantu mereka yang membutuhkan, dan sisi kedua adalah dari orang yang yang memberi hutang (muqridh) yaitu dapat menumbuhkan jiwa ingin menolong orang lain, menghaluskan perasaan sehingga ia peka terhadap kesulitan yang dialami oleh orang lain.[19]
Adapun hikmah disyariatkannya Al-Qardh (hutang piutang) menurut Syekh Sayyid Tanthawi dalam kitabnya, Fiqh al-Muyassar adalah sebagai berikut:[20]
وَحِكْمَةُ مَشْرُوْعِيَّتِهِ : التَيْسِيْرُ عَلَى النَّاسِ, والرِّفْقُ والرَّحْمَةُ بِهِمْ, والعَمَلُ عَلَى تَفْرِيْجِ مَتَاعِبِهِم, وقَضَاء مَصَالِحِهِم
8.      Memudahkan kepada manusia (التَيْسِيْرُ عَلَى النَّاسِ).
9.      Belas kasih dan kasih sayang terhadap mereka (الرِفْقُ والرَحْمَةُ بِهِمْ) .
10.  Perbuatan yang membuka lebar-lebar (menguraikan) kesulitan yang mereka hadapi (العَمَلُ عَلَى تَفْرِيْجِ مَتَاعِبِهِمْ).
11.   Mendatangkan kemaslahatan bagi mereka yang berhutang (قَضَاء مَصَالِحِهِم).
Para Ulama Fiqh sepakat bahwa akad qardh dikategorikan sebagai akad Ta’awuniy (akad saling tolong menolong), bukan transaksi komersil. Maka, dalam perbankan syariah akad ini dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan sosial bank syariah. Yaitu dengan memberi pinjaman murni kepada orang yang membutuhkan tanpa dikenakan apapun. Meskipun demikian nasabah tetap berkewajiban untuk mengembalikan dana tersebut, kecuali jika bank mengikhlaskannya.[21]
Jika dengan pinjaman ini nasabah berinisiatif untuk mengembalikan lebih dari pinjaman pokok, bank sah untuk menerima, selama kelebihan tersebut tidak diperjanjikan di depan. Bahkan jika terjadi hal yang demikian, maka hal tersebut merupakan wujud dari penerapan hadits Rasulullah SAW berikut ini:
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِنٌّ مِنَ الإِبِلِ، فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ، فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَعْطُوهُ»، فَطَلَبُوا سِنَّهُ، فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلَّا سِنًّا فَوْقَهَا، فَقَالَ: «أَعْطُوهُ»، فَقَالَ: أَوْفَيْتَنِي وَفَى اللَّهُ بِكَ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً»  (رواه البخاري)[22]
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim dari Sufyan dari Salamah dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Ada seorang laki-laki pernah dijanjikan seekor anak unta oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu orang itu datang kepada Beliau untuk menagihnya. Maka Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Berikanlah". Maka orang-orang mencari anak unta namun mereka tidak mendapatkannya kecuali anak unta yang lebih tua umurnya, maka Beliau bersabda: "Berikanlah kepadanya". Orang itu berkata: "Anda telah memberikannya kepadaku semoga Allah membalas anda". Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya yang terbaik diantara kalian adalah siapa yang paling baik menunaikan janji".
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ عَلِيِّ بْنِ صَالِحٍ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ اسْتَقْرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِنًّا فَأَعْطَاهُ سِنًّا خَيْرًا مِنْ سِنِّهِ وَقَالَ خِيَارُكُمْ أَحَاسِنُكُمْ قَضَاءً. (رواه الترمذي)[23]
“Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Waki' dari Ali bin Shalih dari Salamah bin Kuhail dari Abu Salamah dari Abu Hurairah ia berkata; “Rasulullah SAW meminjam (berhutang) kepada seseorang seekor unta yang sudah berumur tertentu. Kemudian beliau mengembalikan pinjaman tersebut dengan unta yang telah berumur yang lebih baik dari yang beliau pinjam. Dan beliau berkata, sebaik-baik kamu adalah mereka yang mengembalikan pinjamannya dengan sesuatu yang lebih baik (dari yang dipinjam).”
Hadits tersebut menunjukkan bahwa seorang peminjam sebaiknya mengembalikan pinjamannya lebih dari apa yang dia pinjam.
Dalam perbankan syariah, akad ini dijalankan untuk fungsi sosial bank. Dananya bisa diambil dari dana zakat, infaq, dan sedekahyang dihimpun oleh bank dari para aghniya’ atau diambilkan dari sebagian keuntungan Bank. Bank kemudian membuat kriteria tertentu kepada nasabah yang akan mendapatkan qardh. Kriteria tersebut berlandaskan berlandaskan pada tingkat kemiskinan dan kekurang mampuan nasabah. Akan jauh lebih efektif jika pinjaman yang diberikan adalah dipergunakan untuk kepentingan produktif, bukan untuk konsumtif. Adapun cara pengembaliannya dengan cara diangsur, maupun dibayar sekaligus. Jika pinjaman sudah dikembalikan, bank dapat memutar kembali secara bergulir.[24]


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, dkk. Ensiklopedi Fiqih Muamalah, terj. Miftahul Khair, (Cet. 1; Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009), hal. 153.
Abdul Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah Juz 2, (Libanon, Beirut: Dar- AlKutub Al-Ilmiyah, 2003),
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 273.
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), hal. 178.
Muhammad bin Isa bin Surah bin Musa (Imam Tirmidzi), Sunan Tirmidzi, (Cet. 2; Mesir: Syarikah Maktabah, 1395 H), hal. 1316.
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Cet.1; Dar Thuq An-Najah, 1422 H) hal. 2393.
Mushtafa Al-Babiy Al-Halabiy, Al-Muamalat al-maddiyah wa al-adabiyah, terj. Ali Fikri, mesir 1356 H, hal 346.
Sayid sabiq, fiqh as-sunnah, (Cet. 3; Beirut: Dar Al-Fikr, 1977),  juz 3, hal 182.
Sayyid Tanthawi, Fiqh Al-Muyassar, Juz 3, hal. 39.
Wahbah Az-zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu.  Jilid 4 hal. 720.
Wahbah Az-zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Cet: 1; Jakarta: Gema Insani, 2011) Jilid 5 hal. 378
Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, (Cet. 1; Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), hal. 144.






[1] Sohari Sahrani, Fikih Muamalah (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2011), hal. 167
[2] Rachmad Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 125
[3] Abdul Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah Juz 2, (Libanon, Beirut: Dar- AlKutub Al-Ilmiyah, 2003), hal. 303 maktabah syamilah.
[4] Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, dkk. Ensiklopedi Fiqih Muamalah, terj. Miftahul Khair, (Cet. 1; Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009), hal. 153.
[5] Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), hal. 178.
[6] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 273.
[7] Sayid sabiq, Fiqh As-Sunnah, (Cet. 3; Beirut: Dar Al-Fikr, 1977),  juz 3, hal 128.
[8] Mushtafa Al-Babiy Al-Halabiy, Al-Muamalat al-maddiyah wa al-adabiyah, terj. Ali Fikri, mesir 1356, hal 346.
[9] Ali Fikri, Al-Muamalat al-maddiyah wa al-adabiyah, hal. 346.
[10] Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, Ensiklopedi Fiqih Muamalah, hal 154.
[11] Wahbah Az-zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu.  Jilid 4 hal. 720.
[12] Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, Ensiklopedi Fiqih Muamalah, hal 157-158.
[13] Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, Ensiklopedi Fiqih Muamalah, hal 159-164.
[14] Wahbah Az-zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu,  Jilid 4 hal. 724.
[15] Wahbah Az-zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Cet: 1; Jakarta: Gema Insani, 2011) Jilid 5 hal. 378.
[16] Wahbah Az-zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu,  (Maktabah Syamilah), Jilid 4 hal. 3793.
[17] Wahbah Az-zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Jilid 5 hal. 378.
[18] Wahbah Az-zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Jilid 5 hal. 379.
[19] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, hal. 277.
[20] Sayyid Tanthawi, Fiqh Al-Muyassar, Juz 3, hal. 39.
[21] Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, (Cet. 1; Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), hal. 144.
[22] Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Cet.1; Dar Thuq An-Najah, 1422 H) hal. 2393.
[23] Muhammad bin Isa bin Surah bin Musa (Imam Tirmidzi), Sunan Tirmidzi, (Cet. 2; Mesir: Syarikah Maktabah, 1395 H), hal. 1316.
[24] Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, hal. 144.