PEMBIAYAAN IJARAH & AL-QARDH
MAKALAH
Dibuat dalam rangka memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Muamalah II
Semester III
Tahun Akademik 2013-2014
Dosen
Oleh
KELOMPOK 9
Nama :
13*****
Jurusan Hukum Bisnis Syariah Fakultas Syariah
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
MALANG
2014
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT,
karena berkat rahmat-Nya lah kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Pembiayaan
Ijarah & Al-Qardh .”
Makalah ini diajukan guna memenuhi Tugas Mata
Kuliah Fiqh Muamalah, dengan dosen pembimbing Bapak .............
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah
ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi
mahasiswa dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu
pengetahuan bagi kita semua.
Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Malang, 8 Desember
2014
Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Bank Syari’ah dan
Lembaga Keuangan Syari’ah lainnya dalam melayani produk pembiayaan, mayoritas
masih terfokus pada produk-produk murabahah (prinsip jual beli).
Pembiayaan ijarah memiliki kesamaan dengan pembiayaan murabahah karena
termasuk dalam katagori natural certainty contracts dan pada dasarnya
adalah kontrak jual beli.
Perbedaan antara ijarah
dan murabahah terletak pada objek transaksi yang diperjual belikan
yaitu dalam pembiayaan murabahah yang menjadi objek transaksi adalah
barang, seperti tanah, rumah, mobil dan sebagainya, sedangkan dalam pembiayan ijarah,
objek transaksinya adalah jasa, baik manfaat atas barang maupun manfaat atas
tenaga kerja, sehingga dengan skim ijarah, bank syari’ah dan lembaga keuangan
syari’ah lainnya dapat melayani nasabah yang membutuhkan jasa. Bentuk
pembiayaan ijarah merupakan salah satu teknik pembiayaan ketika
kebutuhan pembiayaan investor untuk membeli aset terpenuhi dan investor hanya
membayar sewa pemakaian tanpa harus mengeluarkan modal yang cukup besar untuk
membeli aset tersebut. Secara umum timbulnya
ijarah disebabkan oleh adanya kebutuhan akan barang atau manfaat barang
oleh nasabah yang tidak memiliki kemampuan keuangan.
Transaksi ijarah
dilandasi adanya perpindahan manfaat (hak guna), bukan perpindahan
kepemilikan (hak milik). Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja
dengan prinsip jual beli tapi perbedaannya terletak pada objek transaksinya.
Bila pada jual beli objek transaksinya barang, sedangkan pada ijarah objek
transaksinya adalah barang dan jasa.
Qard adalah
Pinjaman, Suatu akad pinjam meminjam dengan ketentuan pihak yang menerima pinjaman
wajib mengembalikan dana sebesar yang diterima
B.RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
pengertian Ijarah dan Qard?
2.
Apa dasar
hukum Ijarah dan Qard ?
3.
Apa rukun,
syarat ijarah dan Qard ?
4.
Bagaimana
pelaksanaan Ijarah dan Qard ?
5.
Apa hikmah
dari Ijarah dan Qard ?
C. TUJUAN
Untuk mengetahui lebih mendalam
mengenai Ijarah dan Qard, tentang dasar hukum, rukun dan syaratnya, agar mengetahui
tentang pelaksanaan Ijarah dan Qard beserta hikmahnya.
A. IJARAH
1. Pengertian Ijarah
Sebelum
dijelaskan pengertian sewa menyewa dan upah atau ijarah, terlebih dahulu
akan dikemukakan mengenai makna operasional ijarah itu sendiri. Idris Ahmad
dalam bukunya yang berjudul Fiqih syafi’i berpendapat ijarah berarti upah
mengupah. Hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan syarat upah
mengupah, yaitu mu’jir dan musta’jir (yang memberikan upah dan
yang menerima upah), sedang kan Nor Hasanuddin sebagai penerjemah Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq
menjelaskan makna ijarah dengan sewa menyewa.
Secara
etimologis al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut
bahasanya ialah al-iwadh yang arti dalam bahasa indonesianya adalah
ganti dan upah. Sedangkan menurut Rahmat Syafi’I dalam fiqih Muamalah ijarah
adalah بيع المنفعة (menjual
manfaat). [1]
Dalam syari’at
Islam ijarah adalah jenis akad untuk mengambil manfaat dengan kompensasi.
Sedangkan menurut Sulaiman Rasjid mempersewakan ialah akad atas manfaat (jasa)
yang dimaksud lagi diketahui, dengan tukaran yang diketahui, menurut
syarat-syarat yang akan dijelaskan kemudian.
Ijarah
berarti sewa, jasa atau imbalan,
yaitu akad yang dilakukan atas dasar suatu manfaat dengan imbalan jasa. Menurut
Sayyid Sabiq, Ijarah adalah suatu jenis akad yang mengambil manfaat
dengan jalan penggantian
Dengan
demikian pada hakikatnya ijarah adalah penjualan manfaat yaitu
pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dan jasa dalam waktu tertentu
melalui pembayaran sewa/upah tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang
itu sendiri. Akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan tetapi hanya
perpindahan hak guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa.
Dalam
Hukum Islam ada dua jenis ijarah, yaitu :
a. Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa, yaitu mempekerjakan
jasa seseorang dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewa. Pihak yang
mempekerjakan disebut mustajir, pihak pekerja disebut ajir dan
upah yang dibayarkan disebut ujrah.
b. Ijarah yang berhubungan dengan sewa aset atau properti, yaitu
memindahkan hak untuk memakai dari aset atau properti tertentu kepada orang
lain dengan imbalan biaya sewa. Bentuk ijarah ini
mirip dengan leasing (sewa) pada bisnis konvensional. Pihak yang menyewa
(lessee) disebut mustajir, pihak yang menyewakan (lessor)
disebut mu’jir/muajir dan biaya sewa disebut ujrah. Ijarah bentuk
pertama banyak diterapkan dalam pelayanan jasa perbankan syari’ah, sementara ijarah
bentuk kedua biasa dipakai sebagai bentuk investasi atau pembiayaan di
perbankan syari’ah
Ijarah (sewa menyewa) merupakan
mekanisme syariat dalam mengelola lahan yang dimiliki oleh negara tau milik
pribadi untuk disewakan (dikontrakkan).
2. Dasar Ijarah
Ijarah sebagai suatu transaksi yang sifatnya saling tolong menolong mempunyai
landasan yang kuat dalam al-Qur’an dan Hadits. Konsep ini mulai dikembangkan
pada masa Khlaifah Umar bin Khathab yaitu ketika adanya sistem bagian tanah dan
adanya langkah revolusioner dari Khalifah Umar yang melarang pemberian tanah
bagi kaum muslim di wilayah yang ditaklukkan dan sebagai langkah alternatif
adalah membudidayakan tanah berdasarkan pembayaran kharaj dan jizyah. Adapun
yang menjadi dasar hukum ijarah adalah:
a. Al-Qur'an surat al-Zukhruf : 32
Artinya : Apakah mereka yang
membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan
mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas
sebagaian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan
sebagaian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik daripada apa yang mereka
kumpulkan.
b. Al-Qur’an surat al-Baqarah : 233 :
Artinya : ….Dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran
menurut yang patut. Bertaqwalah kepada Allah; dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan.
c. Al-Qur’an surat al-Qashash : 26 :
Artinya : Salah seorang dari kedua
wanita itu berkata : Hai ayahku! Ambilah ia sebagai orang yang bekerja pada
(kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambi untuk bekerja
(pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.
3. Rukun dan Syarat Ijarah
1. Rukun dari akad ijarah yang
harus dipenuhi dalam transaksi adalah :
- Pelaku akad, yaitu mustajir (penyewa), adalah pihak yang menyewa aset dan mu’jir/muajir (pemilik) adalah pihak pemilik yang menyewakan aset.
- Objek akad, yaitu ma’jur (aset yang disewakan) dan ujrah (harga sewa).
- Sighat yaitu ijab dan qabul.
- Manfaat.[2]
2.
Syarat ijarah yang harus ada agar terpenuhi ketentuan-ketentuan hukum
Islam, sebagai berikut :
- Jasa atau manfaat yang akan diberikan oleh aset yang disewakan tersebut harus tertentu dan diketahui dengan jelas oleh kedua belah pihak.
- Kepemilikan aset tetap pada yang menyewakan yang bertanggung jawab pemeliharaannya, sehingga aset tersebut harus dapat memberi manfaat kepada penyewa.
- Akad ijarah dihentikan pada saat aset yang bersangkutan berhenti memberikan manfaat kepada penyewa. Jika aset tersebut rusak dalam periode kontrak, akad ijarah masih tetap berlaku.
- Aset tidak boleh dijual kepada penyewa dengan harga yang ditetapkan sebelumnya pada saat kontrak berakhir. Apabila asset akan dijual harganya akan ditentukan pada saat kontrak berakhir.
Dalam
fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 09/DSNMUI/IV/2000 tanggal 13 April 2000
Tentang Pembiayan Ijarah ditetapkan:
1. Rukun
dan Syarat Ijarah :
- Pernyataan ijab dan qabul.
- Pihak-pihak yang berakad (berkontrak) : terdiri atas pemberi sewa (lessor, pemilik aset, Lembaga Keuangan Syariah) dan penyewa (Lessee, pihak yang mengambil manfaat dari penggunaan aset, nasabah).
- Objek kontrak : pembayaran (sewa) dan manfaat dari penggunaan aset.
- Manfaat dari penggunaan aset dalam ijarah adalah objek kontrak yang harus dijamin, karena ia rukun yang harus dipenuhi sebagai ganti dari sewa dan bukan aset itu sendiri.
- Sighat ijarah adalah berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak, baik secara verbal atau dalam bentuk lain yang equivalent, dengan cara penawaran dari pemilik aset (lembaga keuangan syariah) dan penerimaan yang dinyatakan oleh penyewa (nasabah).
2.
Ketentuan Objek Ijarah :
- Objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan atau jasa.
- Manfaat barang harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
- Pemenuhan manfaat harus yang bersifat dibolehkan.
- Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah.
- Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidak tahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.
- Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
- Sewa adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada lembaga keuangan syariah sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa dalam ijarah.
- Pembayaran sewa boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak.
- Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.
3.
Kewajiban Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah:
-
Kewajiban Lembaga Keuangan Syariah sebagai pemberi sewa :
a.
Menyediakan aset yang disewakan.
b.
Menanggung biaya pemeliharaan aset.
c.
Penjamin bila terdapat cacat pada aset yang disewakan.
-
Kewajiban nasabah sebagai penyewa :
a. Membayar sewa dan
bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan aset yang disewa serta menggunakannya
sesuai dengan kontrak.
b.
Menanggung biaya pemeliharaan aset yang sifatnya
ringan (materiil).
c. Jika aset yang disewa
rusak, bukan karena pelanggaran dan penggunaan yang dibolehkan, juga bukan
karena kelalaian pihak penyewa dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab
atas kerusakan tersebut.
B. Al-Qard
Qardh secara etimologi merupakan bentuk masdar dari qaradha asy-syai’-
yaqridhuhu, yang berarti dia memutuskanya.
القَرْضُ بِفَتْحِ الْقَافِ وقد تكسر، وَأَصْلُهُ فِي اللُّغَةِ: القَطْعُ.[3]
Qardh adalah bentuk masdar yang berarti memutus. Dikatakan qaradhtu
asy-syai’a bil-miqradh, aku memutus sesuatu dengan gunting. Al-Qardh
adalah sesuatu yang diberikan oleh pemilik untuk dibayar.
Adapun qardh
secara terminologis adalah memberikan harta kepada orang yang akan
memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya dikemudian hari.[4]
Menurut Firdaus, qardh
adalah pemberian harta kepada
orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali. Dalam literature fikih, qardh
dikategorikan dalam aqad tathawwu’i atau akad saling membantu dan
bukan transaksi komersil.[5]
Menurut
ulama Hanafiyah:
القَرْضُ
هُوَ مَا تُعْطِيْهِ مِنْ مَالٍ مِثِليٍّ لِتَتَقَاضَاهُ ،أَوْ بِعِبَارَةٍ
أُخْرَى هُوَ عَقْدٌ مُخُصُوصٌ يَرُدُّ عَلَى دَفْعِ مَالٍ مِثْلِيٍّ
لِأخَرَلِيَرُدَّ مِثْلَهُ
Artinya:
“Qaradh
adalah harta yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang memiliki
perumpamaan) untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau dengan ungkapan
yang lain, qaradh adalah suatu perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta
(mal mitsil) kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang
diterimanya.”[6]
Sayyid Sabiq memberikan definisi qardh
sebagai berikut:
الْقَرْضُ
هُوَ الْمَالُ الَّذِيْ يُعْطِيْهِ الْمُقْرِضُ لِلْمُقْتَرِضُ لِيَرُدَّ مِثْلَهُ
إِلَيْهِ عِنْدَ قُدْرَتِهِ عَلَيْهِ
Artinya:
“Al-qardh
adalah harta yang diberikan oleh pemberi hutang (muqrid) kepada penerima utang (muqtarid)
untuk kemudian dikembalikan kepadanya (muqridh) seperti yang diterimanya,
ketika ia telah mampu membayarnya.”[7]
Hanabilah sebagaimana dikutip oleh ali fikri memberikan definisi qardh sebagai
berikut:
اَلْقَرْضُ
دَفْعُ مَالٍ لِمَنْ يَنْتَفِعُ بِهِ وَيَرُدُّ بَدَلَه
Artinya:
“Qardh
adalah memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya dan kemudian
mengembalikan penggantinya.”[8]
Adapun pendapat Syafi’iyah adalah sebagai
berikut:
اَلشَّا
فِعِيَّةُ قَالُوْا : اَلْقَرْضُ يُطْلَقُ شَرْعًا بِمَعْنَى الشَّيْءِالْمُقْرَض.
Artinya:
“Syafi’iyah
berpendapat bahwa qaradh dalam istilah syara’ diartikan dengan sesuatu yang
diberikan kepada orang lain (yang pada suatu saat harus dikembalikan).”[9]
Dasar
disyari’atkannya qardh (hutang piutang) adalah al-qur’an, hadits, dan ijma’:
1. Dasar dari al-Qur’an adalah firman allah swt:
مَنْ ذَا الَّذِي
يُقْرَضُ اللهَ قَرْضًاحَسَنًا فَيُضَاعِقَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيْرَةً
Artinya:
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada allah pinjaman yang baik (menafkahkan
harta di jalan allah), maka allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya
dengan lipat ganda yang banyak.” (Q.S Al-Baqarah :245)
Sisi pendalilan
dari ayat diatas adalah bahwa allah swt menyerupakan amal salih dan memberi infaq
fi sabilillah dengan harta yang dipinjamkan. Dan menyerupakan pembalasannya
yang berlipat ganda dengan pembayaran hutang. Amal kebaikan disebut pinjaman
(hutang) karena orang yang berbuat baik melakukannya untuk mendapatkan gantinya
sehingga menyerupai orang yang menghutangkan sesuatu agar mendapat gantinya.[10]
2. Dasar dari as-sunnah :
عَنِ
ابْنِ مَسْعُوْدٍ اَنَّ النَّبِيًّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ قَالَ : مَامِنْ
مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ اِلَّا كَانَ كَصَدَ قَةٍ
مَرَّةً (رواهابن ماجه وابن حبان)
Artinya:
“Dari Ibn Mas’ud bahwa Rasulullah SAW, bersabda, “tidak ada seorang
muslim yang menukarkan kepada seorang muslim qarad dua kali, maka seperti
sedekah sekali.” (HR. Ibn Majah dan Ibn Hibban).[11]
3. Ijma’
Kaum muslimin
sepakat bahwa qarad dibolehkan dalam islam. Hukum qarad adalah dianjurkan
(mandhub) bagi muqrid dan mubah bagi muqtarid, berdasarkan hadits diatas.
Hukum qardh
(hutang piutang) mengikuti hukum taklifi: terkadang boleh, terkadang makruh,
terkadang wajib, dan terkadang haram. Semua itu sesuai dengan cara
mempraktekannya karena hukum wasilah itu mengikuti hukum tujuan.
Jika orang yang
berhutang adalah orang yang mempunyai kebutuhan sangat mendesak, sedangkan
orang yang dihutangi orang kaya, maka orang yang kaya itu wajib memberinya
hutang.
Jika pemberi
hutang mengetahui bahwa penghutang akan menggunakan uangnya untuk berbuat
maksiat atau perbuatan yang makruh, maka hukum memberi hutang juga haram
atau makruh sesuai dengan kondisinya.
Jika seorang yang
berhutang bukan karena adanya kebutuhan yang mendesak, tetapi untuk menambah
modal perdagangannya karena berambisi mendapat keuntungan yang besar, maka
hukum memberi hutang kepadanya adalah mubah.
Seseorang boleh
berhutang jika dirinya yakin dapat membayar, seperti jika ia mempunyai harta
yang dapat diharapkan dan mempunyai niat menggunakannya untuk membayar
hutangnya. Jika hal ini tidak ada pada diri penghutang. Maka ia tidak boleh
berhutang.
Seseorang wajib
berhutang jika dalam kondisi terpaksa dalam rangka menghindarkan diri dari
bahaya, seperti untuk membeli makanan agar dirinya tertolong dari kelaparan.[12]
Rukun qardh
(hutang piutang) ada tiga, yaitu (1) shighah, (2) ‘aqidain (dua
pihak yang melakukan transaksi), dan (3) harta yang dihutangkan. Penjelasan
rukun-rukun tersebut beserta syarat-syaratnya adalah sebagai berikut.
1. Shighah
Yang dimaksud shighah
adalah ijab dan qabul. Tidak ada perbedaan dikalangan fuqaha’
bahwa ijab itu sah dengan lafal hutang dan dengan semua lafaz yang menunjukkan
maknanya, seperti kata,”aku memberimu hutang” atau “aku menghutangimu”.
Demikian pula
qabul sah dengan semua lafal yang menunjukkan kerelaan , seperti “aku
berhutang” atau “aku menerima” atau “aku ridha” dan lain sebagainya.
2. ‘Aqidain
Yang dimaksud
dengan ‘aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi) adalah pemberi
hutang dan penghutang. Keduanya mempunyai beberapa syarat berikut.
a. Syarat-syarat bagi pemberi hutang
Fuqaha’ sepakat
bahwa syarat bagi pemberi hutang adalah termasuk ahli tabarru’ (orang
yang boleh memberikan derma), yakni merdeka, baligh, berakal shat, dan pandai
(rasyid, dapat membedakan yang baik dan yang buruk). Mereka berargumentasi
bahwa hutang piutang adalah transaksi irfaq (memberi manfaat). Oleh karenanya
tidak sah kecuali dilakukan oleh orang yang sah amal kebaikannya, seperti
shadaqah.
Syafi’iyyah berargumentasi bahwa al-qardh (hutang piutang) mengandung tabarru’
(pemberian derma), bukan merupakan transaksi irfaq (memberi manfaat) dan
tabarru’.
Syafi’iyah menyebutkan bahwa ahliyah (kecakapan, keahlian) memberi derma harus
dengan kerelaan, bukan dengan paksaan. Tidak sah berhutang kepada orang yang
dipaksa tanpa alasan yang benar. Jika paksaan itu ada alasan yang haq. Seperti
jika seseorang harus berutang dalam keadaan terpaksa, maka sah berhutang dengan
memaksa.
Hanafiyah mengkritisi syarat ahliyah at-tabarru’ (kecakapan member derma) bagi
pemberi hutang bahwa tidak sah seorang ayah atau pemberi wasiat menghutangkan
harta anak kecil.
Hanabilah mengkritisi syarat ahliyah at-tabarru’ (kelayakan member derma) bagi
pemberi hutang bahwa seorang wali anak yatim tidak boleh menghutangkan harta
anak yatim itu dan nazhir (pengelola) wakaf tidak boleh menghutangkan harta
wakaf.
Syafi’iyah merinci permasalahan tersebut. Mereka berpendapat bahwa seorang wali
tidak boleh menghutangkan harta orang yang dibawah perwaliannya kecuali dalam
keadaan darurat jika tidak ada hakim. Adapun bagi hakim boleh menghutangkannya
meskipun bukan dalam kondisi darurat.
b. Syarat bagi penghutang
1) Syafi’iyah
mensyaratkan penghutang termasuk kategori orang yang mempunyai ahliyah
al-mu’amalah (kelayakan melakukan transaksi) bukan ahliyah at-tabarru’
(kelayakan member derma). Adapun kalangan ahnaf mensyaratkan penghutangkan
mempunyai ahliyah at-tasharrufat (kelayakan memberikan harta) secara lisan,
yakni merdeka, baligh, dan berakal sehat.
2) Hanabilah mensyaratkan
penghutang mampu menanggung karena hutang tidak ada kecuali dalam tanggungan.
Misalnya, tidak sah member hutang kepada masjid, sekolah, atau ribath (berjaga
diperbatasan dengan musuh) karena semua ini tidak mempunyai potensi menanggung.
3. Harta yang dihutangkan
Rukun yang ketiga
ini mempunyai beberapa syarat berikut.
a. Harta yang dihutangkan berupa harta yang ada padanannya,
maksudnya harta yang satu sama lain dalam jenis yang sama tidak banyak berbeda
yang megakibatkan perbedaan nilai, seperti uang, barang-barang yang dapat di
takar, ditimbang, ditahan, dan dihitung.
Tidak boleh
menghutangkan harta yang nilainya satu sama lain dalam satu jenis berbeda-beda.
Yang perbedaan itu mempengaruhi harga, seperti hewan, pekarangan dan lain
sebagainya. Hal ini karena tidak ada cara untuk mengembalikan barang dan tidak
ada cara mengembalikan harga sehingga dapat menyebabkan perselisihan karena
perbedaan harga dan taksiran nilainya. Demikian ini pendapat kalangan hanafiyah.
Malikiyyah dan Syafi’iyyah, menurut pendapat yang paling benar di kalangan
mereka, menyatakan bahwa boleh menghutangkan harta yang ada padanya. Bahkan,
semua barang yang boleh ditransaksikan dengan cara salam, baik berupa hewan
maupun lainnya, yakni semua yang boleh diperjual belikan dan dapat dijelaskan
sifat-sifatnya meskipun harta itu berupa sesuatu yang berubah-ubah harganya.
Mereka berargumentasi bahwa nabi Muhammad saw pernah berhutang unta muda
sehingga masalah ini dikiaskan dengannya.
Tidak boleh
menghutangkan sesuatu yang tidak boleh diperjualbelikan dengan cara salam,
yakni sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan sifat, seperti permata dan
lain sebagainya. Hanya saja, Syafi’iyyah mengecualikan sesuatu yang
tidak boleh dijual dengan salam, yakni hutang roti dengan timbangan karena
adanya kebutuhan dan toleransi.
Hanabilah berpendapat bahwa boleh menghutangkan semua benda yang boleh dijual,
baik yang ada padanannya maupun yang berubah-ubah harganya, baik yang dapat
djelaskan dengan sifat maupun tidak.
b. Harta yang dihutangkan disyaratkan berupa benda,
tidak sah menghutangkan manfaat (jasa). Ini merupakan pendapat kalangan Mazhab
Hanafiyyah dan Hanabilah. Berbeda dengan kalangan syafi’iyyah dan
malikiyyah, mereka tidak mensyaratkan harta yang dihutangkan berupa benda
sehingga boleh saja menghutangkan manfaat (jasa) yang dapat dijelaskan dengan
sifat. Hal ini karena bagi mereka semua yang boleh diperjualbelikan dengan cara
salam boleh dihutangkan, sedangkan bagi mereka salam boleh pada manfaat (jasa).
Seperti halnya benda padaa umumnya.
Pendapat yang
dipilih oleh ibnu taimiyyah dan ahli ilmu lainnya adalah bolehnya menghutangkan
manfaat (jasa).
c. Harta yang dihutangkan diketahui. Syarat ini tidak
dipertentangkan oleh fuqaha’ karena dengan demikian penghutang dapat membayar
hutangnya dengan harta semisalnya (yang sama).
Syarat ketiga ini
mencakup dua hal, yaitu 1) diketahui kadarnya dan 2) diketahui sifatnya.
Demikian ini agar mudah membayarnya. Jika hutang piutang tidak mempunyai syarat
ketiga ini, maka tidak sah.[13]
مَكَانُ
الوَفَاءِ: اِتَّفَقَ عُلَمَاءُ المَذَاهِبِ الْأَرْبَعَةِ عَلَى أَنَّ وَفَاءَ
القَرْضِ يَكُوْنُ فِي البَلَدِ الَّذِي تَمَّ فِيْهِ الإقْرَاضُ، وَيَصِحُّ
إيْفَاؤُهُ فِي أَيِّ مَكَانٍ آخَرَ إِذَا لَمْ يَحْتَجْ نَقَلَهُ إِلَى حَمْلٍ
وَمُؤْنَةٍ أَوْ وَجَدَ خَوْفِ طَرِيقٍ، فَإنْ احْتَاجَ إِلَى ذَلِكَ لَم يَلْزَم المُقْرِضُ
بِتَسْلِمِهِ.[14]
Para ulama empat mazhab telah sepakat bahwa pengembalian barang pinjaman
hendaknya di tempat dimana akad qardh itu dilaksanakan. Dan boleh juga
di tempat mana saja, apabila tidak membutuhkan biaya kendaraan, bekal dan
terdapat jaminan keamanan. Apabila semua itu diperlukan, maka bukan sebuah
keharusan bagi pemberi pinjaman untuk menerimanya.[15]
Adapun untuk waktu pengembalian adalah sebagai berikut:
وَوَقْتُ رَدِّ بَدْلِ القَرْضِ عِنْدَ غَيْرَ المَالِكِيَّة فِي أيِّ
وَقْتٍ شَاءَ الْمُقْرِضُ بَعْدَ قَبْضِ الْمُسْتَقْرِضِ مَالَ القَرْضِ؛ لِأَنَّهُ
عَقْدٌ لَا يَثْبُتُ فِيْهِ الأَجَلُ. وَذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ إِلَى أنَّ وَقْتَ
رَدِّ بَدْلِ القَرْضِ عِنْدَ حُلُوْلِ أَجَلِ وَفَاءِ القَرْضِ؛ لِأَنَّ القَرْضَ
يَتَأَجَّلُ عِنْدَهُمْ بِالتَّأْجِيْلِ، كَمَا تَقَدَّمَ بَيَانُهُ.[16]
Menurut ulama selain Malikiyah, waktu pengembalian harta pengganti
adalah kapan saja terserah kehendak si pemberi pinjaman, setelah peminjam
menerima pinjamannya. Karena qardh merupakan akad yang tidak mengenal
batas waktu. Sedangkan menurut Malikiyah, waktu pengembalian itu adalah ketika
sampai pada batas waktu pembayaran yang sudah ditentukan diawal. Karena mereka
berpendapat bahwa qardh bisa dibatasi dengan waktu.[17]
Para ulama sepakat bahwa wajib hukumnya bagi peminjam untuk
mengembalikan harta semisal apabila ia meminjam harta mitsli, dan
mengembalikan harta semisal dengan bentuknya (dalam pandangan ulama selain
Hanafiyah) bila pinjamannya adalah harta qimiy, seperti mengembalikan
kambing yang ciri-cirinya mirip dengan domba yang dipinjam.[18]
يَجِبُ
عَلَى الْمُقْتَرِضِ أَنْ يَرُدَّ مِثْلُ الْمَالِ الَّذِي اقْتَرَضَهُ إِنْ كَانَ
الْمَالُ مِثْلِيّاً بِالاِتِّفَاقِ، وَيَرُدَّ مِثْلُهُ صُورَةً عِنْدَ غَيْرِ
الحَنَفِيَّةِ إِذَا كَانَ مَحَلُّ القَرْضِ مَالاً قِيْمِيّاً، كَرَدِّ شَاةٍ تُشْبِهُ
الشَّاةِ الَّتِي اقْتَرَضَهَا فِي أَوْصَافِهَا.
Atas dasar itu,
ulama hanafiyah tetap mewajibkan mengembalikan harta qimiy sesuai dengan apa yang
sebelumnya dipinjam.
Hikmah
disyariatkannya Al-Qardh dapat dilihat dari dua sisi, sisi pertama dari
orang yang berhutang (muqtaridh) yaitu membantu mereka yang membutuhkan,
dan sisi kedua adalah dari orang yang yang memberi hutang (muqridh)
yaitu dapat menumbuhkan jiwa ingin menolong orang lain, menghaluskan perasaan
sehingga ia peka terhadap kesulitan yang dialami oleh orang lain.[19]
Adapun hikmah
disyariatkannya Al-Qardh (hutang piutang) menurut Syekh Sayyid Tanthawi
dalam kitabnya, Fiqh al-Muyassar adalah sebagai berikut:[20]
وَحِكْمَةُ
مَشْرُوْعِيَّتِهِ : التَيْسِيْرُ عَلَى النَّاسِ, والرِّفْقُ والرَّحْمَةُ بِهِمْ,
والعَمَلُ عَلَى تَفْرِيْجِ مَتَاعِبِهِم, وقَضَاء مَصَالِحِهِم
8.
Memudahkan
kepada manusia (التَيْسِيْرُ عَلَى النَّاسِ).
9.
Belas kasih dan kasih sayang terhadap mereka (الرِفْقُ والرَحْمَةُ بِهِمْ) .
10. Perbuatan yang membuka lebar-lebar (menguraikan)
kesulitan yang mereka hadapi (العَمَلُ عَلَى تَفْرِيْجِ مَتَاعِبِهِمْ).
11.
Mendatangkan
kemaslahatan bagi mereka yang berhutang (قَضَاء مَصَالِحِهِم).
Para Ulama Fiqh
sepakat bahwa akad qardh dikategorikan sebagai akad Ta’awuniy (akad
saling tolong menolong), bukan transaksi komersil. Maka, dalam perbankan
syariah akad ini dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan sosial bank
syariah. Yaitu dengan memberi pinjaman murni kepada orang yang membutuhkan
tanpa dikenakan apapun. Meskipun demikian nasabah tetap berkewajiban untuk
mengembalikan dana tersebut, kecuali jika bank mengikhlaskannya.[21]
Jika dengan
pinjaman ini nasabah berinisiatif untuk mengembalikan lebih dari pinjaman
pokok, bank sah untuk menerima, selama kelebihan tersebut tidak diperjanjikan
di depan. Bahkan jika terjadi hal yang demikian, maka hal tersebut merupakan
wujud dari penerapan hadits Rasulullah SAW berikut ini:
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ سَلَمَةَ،
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: كَانَ
لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِنٌّ مِنَ الإِبِلِ،
فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ، فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَعْطُوهُ»،
فَطَلَبُوا سِنَّهُ، فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلَّا سِنًّا فَوْقَهَا، فَقَالَ:
«أَعْطُوهُ»، فَقَالَ: أَوْفَيْتَنِي وَفَى اللَّهُ بِكَ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ
خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً»
(رواه البخاري)[22]
“Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim
dari Sufyan dari Salamah dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu
berkata; Ada seorang laki-laki pernah dijanjikan seekor anak unta oleh Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam lalu orang itu datang kepada Beliau untuk
menagihnya. Maka Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Berikanlah". Maka orang-orang mencari anak unta namun mereka tidak
mendapatkannya kecuali anak unta yang lebih tua umurnya, maka Beliau bersabda:
"Berikanlah kepadanya". Orang itu berkata: "Anda telah
memberikannya kepadaku semoga Allah membalas anda". Maka Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya yang terbaik diantara kalian
adalah siapa yang paling baik menunaikan janji".
حَدَّثَنَا
أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ عَلِيِّ بْنِ صَالِحٍ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ اسْتَقْرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِنًّا فَأَعْطَاهُ سِنًّا خَيْرًا مِنْ سِنِّهِ وَقَالَ
خِيَارُكُمْ أَحَاسِنُكُمْ قَضَاءً. (رواه الترمذي)[23]
“Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan
kepada kami Waki' dari Ali bin Shalih dari Salamah bin Kuhail dari Abu Salamah
dari Abu Hurairah ia berkata; “Rasulullah SAW meminjam (berhutang) kepada
seseorang seekor unta yang sudah berumur tertentu. Kemudian beliau
mengembalikan pinjaman tersebut dengan unta yang telah berumur yang lebih baik
dari yang beliau pinjam. Dan beliau berkata, sebaik-baik kamu adalah mereka
yang mengembalikan pinjamannya dengan sesuatu yang lebih baik (dari yang
dipinjam).”
Hadits tersebut
menunjukkan bahwa seorang peminjam sebaiknya mengembalikan pinjamannya lebih
dari apa yang dia pinjam.
Dalam perbankan
syariah, akad ini dijalankan untuk fungsi sosial bank. Dananya bisa diambil
dari dana zakat, infaq, dan sedekahyang dihimpun oleh bank dari para aghniya’
atau diambilkan dari sebagian keuntungan Bank. Bank kemudian membuat kriteria
tertentu kepada nasabah yang akan mendapatkan qardh. Kriteria tersebut
berlandaskan berlandaskan pada tingkat kemiskinan dan kekurang mampuan nasabah.
Akan jauh lebih efektif jika pinjaman yang diberikan adalah dipergunakan untuk
kepentingan produktif, bukan untuk konsumtif. Adapun cara pengembaliannya
dengan cara diangsur, maupun dibayar sekaligus. Jika pinjaman sudah
dikembalikan, bank dapat memutar kembali secara bergulir.[24]
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, dkk. Ensiklopedi Fiqih Muamalah,
terj. Miftahul Khair, (Cet. 1; Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009), hal. 153.
Abdul Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah Juz 2,
(Libanon, Beirut: Dar- AlKutub Al-Ilmiyah, 2003),
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh
Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010),
hal. 273.
Ismail Nawawi, Fikih
Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), hal. 178.
Muhammad bin Isa bin Surah bin Musa (Imam
Tirmidzi), Sunan Tirmidzi, (Cet. 2; Mesir: Syarikah Maktabah, 1395 H),
hal. 1316.
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari, (Cet.1; Dar Thuq An-Najah, 1422 H) hal. 2393.
Mushtafa Al-Babiy Al-Halabiy, Al-Muamalat
al-maddiyah wa al-adabiyah, terj. Ali Fikri, mesir 1356 H, hal 346.
Sayid sabiq, fiqh as-sunnah, (Cet. 3; Beirut: Dar Al-Fikr, 1977), juz 3, hal 182.
Sayyid Tanthawi, Fiqh
Al-Muyassar, Juz 3, hal. 39.
Wahbah Az-zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa
Adillatuhu. Jilid
4 hal. 720.
Wahbah Az-zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa
Adillatuhu,
terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Cet: 1; Jakarta: Gema Insani, 2011) Jilid 5 hal. 378
Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, (Cet. 1;
Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), hal. 144.
[1] Sohari Sahrani, Fikih Muamalah (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia,
2011), hal. 167
[2] Rachmad Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal.
125
[3] Abdul Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah Juz 2,
(Libanon, Beirut: Dar- AlKutub Al-Ilmiyah, 2003), hal. 303 maktabah syamilah.
[4] Abdullah bin
Muhammad ath-Thayar, dkk. Ensiklopedi Fiqih Muamalah, terj. Miftahul Khair, (Cet. 1; Yogyakarta:
Maktabah al-Hanif, 2009), hal. 153.
[5] Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2012), hal. 178.
[8] Mushtafa
Al-Babiy Al-Halabiy, Al-Muamalat al-maddiyah wa al-adabiyah, terj. Ali Fikri,
mesir 1356, hal 346.
[9] Ali Fikri,
Al-Muamalat al-maddiyah wa al-adabiyah, hal. 346.
[10] Abdullah bin
Muhammad ath-Thayar, Ensiklopedi Fiqih Muamalah, hal 154.
[12] Abdullah bin
Muhammad ath-Thayar, Ensiklopedi Fiqih Muamalah, hal 157-158.
[13] Abdullah bin
Muhammad ath-Thayar, Ensiklopedi Fiqih Muamalah, hal 159-164.
[15] Wahbah
Az-zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, terj.
Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Cet: 1; Jakarta: Gema Insani, 2011) Jilid 5 hal. 378.
[17] Wahbah
Az-zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, terj.
Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Jilid 5 hal. 378.
[18] Wahbah
Az-zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, terj.
Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Jilid 5 hal. 379.
[21] Yazid Afandi, Fiqh
Muamalah, (Cet. 1; Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), hal. 144.
[22] Muhammad bin
Ismail Abu Abdillah Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Cet.1; Dar Thuq
An-Najah, 1422 H) hal. 2393.
[23] Muhammad bin
Isa bin Surah bin Musa (Imam Tirmidzi), Sunan Tirmidzi, (Cet. 2; Mesir:
Syarikah Maktabah, 1395 H), hal. 1316.
[24] Yazid Afandi, Fiqh
Muamalah, hal. 144.